TAHUN 1963-2013 bukan waktu yang pendek bagi orang Papua bergumul dalam berbagai konflik yang entah kapan bisa berakhir. Pelanggaran HAM, penculikan, penembakan, pemerkosaan, hingga pada pembunuhan kerap terjadi. Di sisi lain perebutan sumberdaya alam antar berbagai kelompok kepentingan, isu primodialisme serta SARA juga turut menjadi item-item dalam konflik yang berkepanjangan di tanah Papua. Di tahun 2008 LIPI, dalm buku Papua Road Map menggambarkan 4 akar konflik di Papua: Pertama, marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua, dari sisi politik, ekonomi dan budaya. Kedua, pelanggaran HAM dan Kekerasan negara yang hingga saat ini belum ada penyelesaian secara adil atas korban dan keluarga korban. Ketiga, status politik dan konstruksi sejarah. Ada dua pandangan yang kontradiktif antara orang Papua dan pemerintah terhadap PEPERA 1962, menghasilkan orang papua ingin memisahkan diri dari NKRI dan pemerintah ingin mempertahankan dengan berbagai macam cara. Keempat, kegagalan pembangunan, secara nyata pembangunan yang sangat sentralistis dan tidak konsisten telah mengabaikan kearifan lokal dan lemahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Implementasi UU no 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua tidak dirasakan masyarakat Papua teruma mereka yang berada di kampung- kampung. Terkesan implementasi dari undang-undang otsus ini hanya mengutungkan kelompok elit, sebab di sektor pendidikan, ekonomi dan kesehatan masyarakat Papua masih jauh berada di bawah dibandingkan dengan provinsi lain. Ditambah lagi dampak pemekaran provinsi dan kabupaten juga mengisi daftar konflik di tanah ini.

 

Cerita konflik di tanah inipun mengalami perluasan. Dulu orang Papua berkonflik dengan pemerintah dan orang pendatang, kini orang Papua dihadapkan dengan orang Papua sendiri, seperti isu “orang Gunung dan orang Pantai”, ada orang Papua dengan Semboyan “NKRI HARGA MATI” juga ada orang Papua dengan Semboyan “MERDEKA HARGA MATI”, selain fanatisme dan kepala daerah kabupaten/kota se Papua “orang Fakfak hanya boleh egoisme kedaerahanpun muncul menjelang pemilihan umum menjadi bupati/walikota di Fakfak, begitupun dengan orang Biak, Serui, dan yang lain. Masih banyak deretan konflik yang sulit diurai dalam deretan angka.

 

Jika konflik ini terus terjadi, maka akan berdampak pada degradasi nilai-nilai kearifan lokal, kehilangan sumber daya alam sebagai bagian dari sumber-sumber kehidupan bahkan sampai pada kehilangan identitas orang Papua. Di sisi lain dampak konflikpun menghambat proses kehidupan bagi masyarakat di tanah ini, terkhusus bagi korban konflik, baik itu mereka yang selamat dari penyiksaan masa lalu juga bagi generasi muda Papua.

 

Bagi kaum perempuan, dampak begitu kompleks. Keinginan untuk lebih maju dan berkembang terhambat dengan kondisi Papua saat ini. Sebab, sebelum berpikir tentang masa depannya, perempuan terdahulu berpikir tentang nasib orang tua, keluarga, anak, suami, tetangga hingga daerahnya. Setelah itu perempuan harus kembali terhambat dengan budaya patriarki dan masih banyak masalah sterotype yang melekat pada diri perempuan. Kendati banyaknya perempuan Papua yang masih terhambat dengan persoalan tadi, harapan dan keinginan membangun tanah Papua terus tumbuh. Hal ini dibuktikan dengan adanya perempuan Papua di sektor publik sebagai seorang pengusaha, politisi, pemerintahan juga yang tidak kalah hebatnya perempuan- perempuan aktivis Papua yang tersebar di berbagai LSM dan Organisasi masyarakat yang gigih memperjuangkan perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan.

 

Kini Papua menginginkan sebuah perubahan besar. Mimpi dan cita-cita akan Papua tanah damai adalah harapan suci dari sanubari, yang berakar dari budaya saling menghormati, mengasini dan memberi. Ini menjadi tekat dan kekuatan yang harus diperjuangkan terus. Proses menuju damai tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan, mengakui perbedaan serta saling menghormati adalah langkah awal bagi setiap orang yang mewakafkan diri untuk kerja-kerja perdamaian dan kemanusiaan di dunia terkhusus di Tanah Papua. Sebab Tuhan sengaja menciptakan kita “berbeda warna kulit, jenis rambut, bahasa, suku, agama bahkan jenis kelamin” dengan sebuah tujuanNya sendiri.

 

Dialog Jakarta-Papua yang dimotori oleh Pater Neles dan Jaringan Damai Papua, menjadi Oase dalam konflik Papua. Di Papua, berbagai upaya telah dilakukan oleh kelompok masyarakat, LSM, lembaga-lembaga keagamaan, kelompok pemuda dan perempuan antara lain:

  • Mendorong komunikasi yang intens antar pemerintah pusat dengan berbagai kelompok di Papua. Jalan menuju perdamaian melalui dialog telah dimulai oleh Jaringan Damai Papua dengan dukungan lembaga-lembaga keagamaan di Papua.
  • Kampanye Papua tanah damai melalui lembaga-lembaga keagamaan telah menjadi kerja yang terus berlangsung.
  • Melakukan dialog dan diskusi antar agama dengan pendekatan kultural.
  • Melakukan pelatihan perempuan, perdamaian dan keamanan. • Pelatihan resolusi konflik dan moderatisme keagamaan bagi kaum muda lintas agama
  • Mendorong lahirnya kelompok-kelompok pemuda lintas agama di berbagai daerah.
  • Diskusi-diskusi dan kegiatan bersama antar kelompok pelajar dan mahasiswa mendukung Papua tanah damai.
  • Merevitalisasi nilai-nilai kearifan local untuk mendukung perdamaian.
  • Mendorong tumbuhnya partisipasi perempuan dalam kerja- kerja kemanusian dan perdamaian.
  • Mendorong penegakan hukum sebagai bagian terpenting untuk memberikan rasa aman, adil kepada masyarakat dan menumbuhkan kepercayaan serta ketaatan masyarakat terhadap proses hukum. dan masih banyak upaya lain yang telah dan sedang di berjalan.

Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, pemerintah dalam hal ini presiden patutnya bangga dengan ide dialog ini, sebab dialog adalah cara penyelesaian konflik yang paling demokratis dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan bermartabat tanpa kekerasan dan pertumpahan darah. Terlepas dari lamban dan bagaimana respons yang dilakukan pemerintah terhadap dialog Jakarta-Papua. Ide dialog yang lahir saat kongres Papua II, tahun 2000 ini dan kemudian dipelopori Pater Neles Tebay, adalah cerminan dari nilai budaya orang Papua. Salah satu contoh, “orang Papua punya tradisi perang, tetapi juga mempunyai tradisi penyelesaian perang, konflik dan pertentangan melalui perundingan/dialog di para-para adat”. Untuk itu dialog Jakarta- Papua haruslah dilaksanakan dengan melibatkan keterwakilan semua elemen masyarakat, baik orang asli Papua maupun pendatang. Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam proses hingga titik akhir dari dialog ini adalah keterlibatan perempuan.

  1. Apa harapan-harapan perempuan terhadap dialog?
  2. Adakah jaminan bagi perempuan untuk mendapatkan perlindungan dan pemberdayaan setelah dialog?
  3. Adakah peran yang diberikan pada perempuan dalam dialog?
  4. Kalau ada, dimana peran itu bisa dimainkan? Apakah sebagai seorang negosiator, mediator, juru runding atau di sisi mana?

Tentu masih banyak pertanyaan lain yang kemudian menjadi tugas sekaligus tanggungjawab bersama kaum perempuan di Papua dalam rangka mewujudkan dialog Jakarta-Papua yang bermartabat demi kedamaian di atas Tanah Papua.

Akhir kata, “TUHAN TIDAK AKAN MENGUBAH NASIB SUATU KAUM, KECUALI KAUM ITU SENDIRI BANGKIT DAN MENATA KEHIDUPANNYA. (QS 13:11)”.

 

Nanny Uswanas